Review: Muara Rasa

image

Judul: Muara Rasa
Penulis: Devania Anesya
Penerbit: Ice Cube
Tebal: 186 halaman
Tahun terbit: 2015
Harga: Rp 48.000,-

Sinopsis:

image

Ketika musim liburan semester, Flora–dipanggil Flo–yang kuliah di Yogyakarta memutuskan pulang ke Surabaya. Ravi yang berkuliah di Jakarta, mengetahui kepulangan Flo dan memutuskan untuk pulang juga–meski harus menghadapi papanya. Di surabaya sahabat mereka Val sudah menunggu.

Namun, pulang ternyata tidak terlalu menyenangkan. Flo yang menyimpan rasa pada Val harus menelan kekecewaan saat tahu Val sudah memiliki kekasih bernama Karen dan harus puas dengan label adik. Sementara Ravi masih diam-diam menyukai Flo meski tahu gadis itu menyukai Val. Selama ini mereka selalu bersikap diam demi persahabatan mereka.

Tapi, saat berkumpul di kafe Karen, semua yang disimpan itu terungkap. Ravi tidak bisa lagi menyimpan perasaannya dan mengungkapkan pada Flo, Flo pun harus mengakui perasaannya pada Val, yang ternyata sudah diketahui oleh Val. Semua jadi kacau. Persahabatan mereka berada di ambang kehancuran.

Namun, saat Ravi mengalami suatu kejadian yang hampir merengut nyawanya, Flo dan Val tidak bisa membohongi hati mereka. Mereka menyayangi Ravi. Dan tidak ingin Ravi pergi meninggalkan mereka.

Akankah mereka harus kembali mengorbankan rasa cinta mereka demi persahabatan yang terlalu lama mereka bina?

Review:

image

Ini bukanlah novel pertama dari Devania Annesya yang saya baca. Dan seperti novel-novel sebelumnya, penulis berhasil membuat saya menyukai novel ini.

Seperti yang terlihat di sinopsis, novel ini mengambil tema cerita persahabatan. Saya selalu menyukai kisah persahabatan. Terlebih kisah persahabatan yang di dalamnya terdapat konflik yang lebih kompleks. Juga ada konflik antar anggota keluarga.

Untuk karakternya, 3 karakter utama cerita ini cukup kuat. Saya suka karakter-karakternya. Semua saling melengkapi. Tidak hanya itu, karakter pendukungnya pun sama menariknya. Penulis berhasil membangun karakter-karakternya, mulai tokoh utama sampai karakter pendukung.

Gaya bercerita, penulis sudah jangan diragukan lagi. Saya selalu suka dialog-dialog yang dibuat. Lucu dan bikin saya ketawa-tawa. Celetukannya terasa natural. Tidak garing. Dan untuk bagian sedihnya pun dapat.

Untuk typo, novel ini cukup bersih. Salah satu yang membuat saya puas.

Tetapi kelemahan novel ini menurut saya terletak sama setting waktunya. Entahlah, saya kadang dibuat bingung, meski di atas sebelum cerita dimulai ada keterangan waktu kapannya. Ada flashback yang terasa di masa kini. Tetapi secara keseluruhan saya masih bisa mengikuti meski adegan kini dan flashback silih berganti.

Nah, yang unik dari novel ini–dan selalu jadi ciri khas penulisnya–novel ini lagi-lagi endingnya menggantung. Bikin gemes, sumpah! Gregetan. Mungkin si penulis beranggapan bahwa tidak ada kisah yang benar-benar berakhir. Makanya kisah di novelnya selalu terasa menggantung.  Tapi ajaibnya saya setuju kisahnya diakhiri di bagian itu.

Oke secara keseluruhan saya menyematkan 4 dari 5 bintang untuk novel ini. Saya harap penulis masih menghasilkan karya yang spektakuler lainnya.

Quote favorit saya:
Namun setiap rasa pada akhirnya membutuhkan muara. Akhir dari perjalanan panjang. Akhir dari segala rasa sakit.

Leave a comment